Thursday, August 11, 2011

KRISIS KEDELAI DAN HUKUM INTERNASIONAL

- 0 komentar
Tidak banyak masyarakat yang mengaitkan krisis kedelai yang melanda Indonesia beberapa waktu lalu dengan sistem hukum internasional yang berlaku. Padahal hukum internasional di bidang perdagangan produk pertanian dewasa ini telah menjelma menjadi suatu regulasi yang sangat kompleks. Hukum internasional tidak lagi menjadi urusan para diplomat saja namun harus menjadi perhatian seluruh lapisan masyarakat. Berbagai pengaturan internasional ternyata berdampak langsung bagi kerugian petani kedelai dan produsen tahu-tempe di Indonesia.

Salah satu penyebab dasar krisis kedelai ini adalah ketergantungan yang sangat besar terhadap kedelai impor. Ketika harga kedelai di pasar komoditi dunia naik, Pemerintah Indonesia tidak kuasa menahan kenaikan harga kedelai di dalam negeri (Kompas, 17/01/08). Ketergantungan yang berlebihan terhadap produk impor ini sudah disadari Pemerintah membahayakan ketahanan pangan.

Dari kebutuhan kedelai nasional sekitar 1,8-2 juta ton, sekitar 60 persen dipenuhi dari impor. Produksi kedelai domestik terus mengalami tren penurunan, bahkan pada tahun 2003 produksinya hanya 671.600 ton. Bandingkan dengan tahun 1992 yang mencapai 1,8 juta ton (Sumber: Departemen Pertanian RI). Turunnya gairah petani untuk menanam kedelai tidak lain dipicu oleh masuknya kedelai impor dengan harga yang sangat murah.

Mengapa ketergantungan Indonesia terhadap kedelai impor menjadi sangat besar? Mengapa kedelai impor dapat masuk ke Indonesia dengan harga yang sangat murah? Jawabannya dapat dikembalikan kepada perubahan sistem pertanian dunia yang mengalami perubahan signifikan dengan berlakunya Perjanjian Pertanian World Trade Organization (WTO) yang disahkan pada tahun 1994. Indonesia sendiri meratifikasi perjanjian tersebut pada tahun yang sama.

Ketidakadilan Perjanjian Pertanian WTO

Sistem perdagangan yang diatur dalam Perjanjian Pertanian WTO dikritik oleh banyak pihak sebagai suatu ketidakadilan global (global injustice) yang hanya mementingkan kepentingan negara maju, termasuk pada sektor pertanian.

Perjanjian Pertanian WTO yang merupakan pondasi berlakunya liberalisasi pertanian sebenarnya memiliki tiga pilar utama: akses pasar (market access), dukungan domestik (domestic support), dan subsidi ekspor (export subsidy). Namun demikian, konsep liberalisasi ini hanya terfokus pada pilar pembukaan akses pasar yang menyebabkan kemudahan impor dan tarif bea masuk yang sangat murah. Hal ini yang kemudian memicu serbuan impor dan penurunan harga impor dari negara maju.

Sementara itu, pilar subsidi ekspor dan dukungan domestik diabaikan. Padahal melalui dua pilar inilah, negara maju melakukan subsidi yang berlebihan kepada petani mereka yang memiliki lahan yang lebih luas dan berpendapatan tinggi. Dengan pembukaan akses pasar yang tidak diikuti dengan penghapusan subisdi negara maju, pebisnis dari Amerika Serikat misalnya, dapat mengimpor kedelai yang umumnya hasil rekayasa genetika (genetically modified foods) dengan subsidi besar-besaran dari pemerintahnya sehingga menghasilkan harga yang sangat murah. Produk pertanian dari negara berkembang tidak akan mampu menyainginya.

Selain itu, perlakuan khusus (special and differential treatment) yang diperoleh negara berkembang ternyata dianggap tidak efektif dan kurang fleksibel (Apriantono: 2007, 454). Ekspor produk pertanian dari negara berkembang pun masih terbentur perjanjian WTO lainnya yaitu mengenai sanitary dan phytosanitary (SPS) yang mengatur standar kesehatan manusia, hewan, dan tanaman. Standar internasional demikian tentu sangat sulit dipenuhi oleh petani dari negara berkembang.

Alhasil, pasar pertanian negara maju relatif masih tertutup dari eskpor negara berkembang. Di sisi lain, negara maju sangat menikmati liberalisasi pertanian dengan terbukanya pasar negara berkembang. Dengan kata lain, hukum internasional disusun untuk menciptakan liberalisasi pertanian yang hanya menguntungkan negara maju, sementara negara berkembang hanya berperan sebagai penonton.

Ketidakadilan ini memicu diluncurkannya Putaran Pembangunan Doha tahun 2001 sebagai komitmen bersama negara maju dan negara berkembang untuk menjadikan perdagangan sebagai kunci dari pembangunan dan kesejahteraan. Putaran ini pun sempat nyaris gagal ketika tidak tercapai kesepakatan antara kedua kubu tersebut pada Konferensi Tingkat Menteri (KTM) di Cancun tahun 2003 dan di Hong Kong tahun 2005.


Reformasi Hukum Pertanian Internasional

Pengurangan subsidi negara maju menjadi fokus dari proposal amandemen Perjanjian Pertanian. Berkat kegigihan negara berkembang, pasca KTM Hong Kong beberapa negara maju sudah mengumumkan niatnya untuk menurunkan subsidi pertanian. Amerika Serikat menawarkan pemotongan total subsidi kepada petaninya yang termuat dalam amandemen farm bill yang sedang dibahas di Congress. Uni Eropa juga menawarkan pemotongan keseluruhan jumlah subsidinya sampai sekitar 70 persen. Pengurangan itu nampak sangat drastis, dua negara besar itu pun terlihat menunjukkan niat baik agar perundingan Putaran Doha berjalan kembali. Namun keadaan ini justru dapat membuat sulit posisi negara berkembang karena mereka juga dituntut untuk menurunkan tawarannya.

Indonesia sendiri menjadi motor dari kelompok G-33 yang memperjuangkan gagasan baru mengenai perlakuan khusus bagi negara berkembang. Gagasan tersebut tertuang ke dalam konsep Special Products (SP) yang menginginkan agar sejumlah produk pertanian memperoleh fleksibilitas penurunan tarif, dan Special Safeguard Mechanism (SSM) sebagai perlindungan sementara dari ancaman serbuan impor dan penurunan harga impor. Saat ini, proposal tersebut sudah mendapat dukungan dari Uni Eropa dan kelompok G-10 yang dipimpin Brazil.

Dengan mulai terlihatnya beberapa kesepakatan antara negara-negara peserta perundingan, bukan tidak mungkin Putaran Doha menyangkut perjanjian pertanian akan dapat diselesaikan.

[Continue reading...]

Wednesday, August 10, 2011

Artikel Mengenai Hukum Internasional

- 4 komentar
Wilayah perbatasan merupakan kawasan tertentu yang mempunyai dampak penting dan peran strategis bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat dan pertahanan peningkatan kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat di dalam ataupun di luar wilayah, memiliki keterkaitan yang kuat dengan kegiatan di wilayah lain yang berbatasan, baik dalam lingkup nasional maupun regional (antar negara), serta mempunyai dampak politis dan fungsi pertahanan keamanan nasional. Oleh karena peran strategis tersebut, maka pengembangan wilayah perbatasan Indoensia merupakan prioritas penting pembangunan nasional untuk menjamin keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.


Mengenai pembentukan dan perancangan undang-undang (UU) tentang Batas Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sesungguhnya sudah menjadi usul inisiatif DPR sebagai salah satu Rancangan Undang-Undang (RUU) yang sangat penting pada saat ini. Tentu saja RUU itu merupakan hal baru terutama dari segi substansi dan pelaksanaan operasionalnya. Hai ini terbukti bahwa sampai sekarang Indonesia belum bisa menentukan dan menetapkan batas wilayah negaranya serta belum mempunyai UU mengenai batas wilayah negara. RUU tersebut pada prinsipnya merupakan perintah dari konstitusi negara, sebagaimana yang tercantum dalam Amendemen Kedua UUD NRI Tahun 1945 dalam Pasal 25 A, "Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang berciri Nusantara dengan wilayah yang batas-batas dan hak-haknya ditetapkan dengan undang-undang." Hal ini menyiratkan bahwa mutlak diperlukan UU yang mengatur perbatasan sebagai dasar kebijakan dan strategi untuk mempertahankan kedaulatan NKRI, memperjuangkan kepentingan nasional dan keselamatan bangsa, memperkuat potensi, pemberdayaan dan pengembangan sumber daya alam bagi kemakmuran seluruh bangsa Indonesia sesuai dengan UUD 1945.


Saat ini RUU tentang Batas Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia menjadi salah satu RUU yang diprioritaskan dalam Prolegnas 2004 - 2009, yang kemudian RUU tersebut diharapkan dapat segera disahkan menjadi Undang-Undang. Salah satu masalah pokok yang perlu mendapat perhatian saat ini adalah kesenjangan pembangunan daerah di wilayah perbatasan yang masih jauh tertinggal. Dalam Peraturan Presiden Nomor 7 tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJM Nasional) tahun 2004-2009 pada prinsipnya telah menekankan pengembangan wilayah perbatasan melalui beberapa strategi yang diimplementasikan kedalam program dan kegiatan yang bertujuan untuk (1) Menjaga keutuhan wilayah NKRI melalui penetapan hak kedaulatan NKRI yang dijamin oleh hukum internasional; (2) Meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat dengan menggali potensi ekonomi, sosial dan budaya serta keuntungan lokasi geografis yang sangat strategis dalam berhubungan dengan negara tetangga. 


Pada kenyataannya batas wilayah negara RI mengandung berbagai masalah, seperti garis batas yang belum jelas, pelintas batas, pencurian sumber daya alam, dan kondisi geografi yang merupakan sumber masalah yang dapat mengganggu hubungan antarnegara, terutama posisi Indonesia di kawasan Asia Tenggara. Selama ini pula penyelesaian penetapan garis batas wilayah darat dilakukan dengan perjanjian perbatasan yang masih menimbulkan masalah dengan negara-negara tetangga yang sampai sekarang belum tuntas sepenuhnya. Misalnya kesepakatan bersama dengan Timor Leste tentang Garis Batas Laut belum dilakukan.


Begitu juga halnya dengan Republik Palau di daerah utara laut Halmahera belum ada pertemuan bersama. Sedangkan garis batas darat masih ada permasalahan yang belum terselesaikan, antara lain dengan Malaysia di Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur yang disepakati diselesaikan melalui General Border Committee (GBC) antara kedua negara, dan dengan Papua Nugini di sepanjang Provinsi Papua sebelah timur, sedangkan dengan Timor Lorosae di sepanjang timur Nusa Tenggara Timur. Banyaknya kasus pelanggaran hukum di wilayah perbatasan seperti penyelundupan, kegiatan terorisme, pengambilan sumber daya alam oleh warga negara lain, dan banyaknya nelayan Indonesia yang ditangkap oleh polisi negara lain karena nelayan Indonesia melewati batas wilayah negara lain akibat tidak jelasnya batas wilayah negara. 


Masalah lain adalah ketidakjelasan siapa yang berwenang dan melakukan koordinasi terhadap masalah-masalah perbatasan antara Indonesia dan negara-negara tetangga, mulai dari masalah konflik di wilayah perbatasan antara masyarakat perbatasan, siapa yang bertugas mengawasi wilayah perbatasan dan pulau-pulau terluar, sampai kepada siapa yang berwenang mengadakan kerja sama dan perundingan dengan negara-negara tetangga, misalnya tentang penentuan garis batas kedua negara.










[Continue reading...]

Inkonsistensi Penegakan Hukum di Indonesia

- 0 komentar
1) Permasalahan Hukum

     Permasalahan hukum di Indonesia terjadi karena beberapa hal, baik dari sistem peradilannya, perangkat hukumnya, inkonsistensi penegakan hukum, intervensi kekuasaan, maupun perlindungan hukum . Diantara banyaknya permasalahan tersebut, satu hal yang sering dilihat dan dirasakan oleh masyarakat awam adalah adanya inkonsistensi penegakan hukum oleh aparat.  Inkonsistensi penegakan hukum ini kadang melibatkan masyarakat itu sendiri, keluarga, maupun lingkungan terdekatnya yang lain (tetangga, teman, dan sebagainya). Namun inkonsistensi penegakan hukum ini sering pula mereka temui dalam media elektronik maupun cetak, yang menyangkut tokoh-tokoh masyarakat (pejabat, orang kaya, dan sebagainya).
    Inkonsistensi penegakan hukum ini berlangsung dari hari ke hari, baik dalam peristiwa yang berskala kecil maupun besar.  Peristiwa kecil bisa terjadi pada saat berkendaraan di jalan raya. Masyarakat dapat melihat bagaimana suatu peraturan lalu lintas (misalnya aturan three-in-one  di beberapa ruas jalan di Jakarta) tidak berlaku bagi anggota TNI dan POLRI. Polisi yang bertugas membiarkan begitu saja mobil dinas TNI yang melintas meski mobil tersebut berpenumpang kurang dari tiga orang dan kadang malah disertai pemberian hormat apabila kebetulan penumpangnya berpangkat lebih tinggi.Contoh peristiwa  klasik yang menjadi bacaan umum sehari-hari adalah : koruptor kelas kakap dibebaskan dari dakwaan karena kurangnya bukti, sementara pencuri ayam bisa terkena hukuman tiga bulan penjara karena adanya bukti nyata. Tumbangnya rezim Soeharto tahun 1998 ternyata tidak disertai dengan reformasi di bidang hukum. Ketimpangan dan putusan hukum yang tidak menyentuh rasa keadilan masyarakat tetap terasakan dari hari ke hari.

2)Beberapa Kasus Inkonsistensi Penegakan Hukum di Indonesia

Kasus-kasus inkonsistensi penegakan hukum di Indonesia terjadi karena beberapa hal. Penulismengelompokkannya berdasarkan beberapa alasan yang banyak ditemui oleh masyarakat awam, baik melalui pengalaman pencari keadilan itu sendiri, maupun peristiwa lain yang bisa diikuti melalui media cetak dan elektronik.
     a. Tingkat Kekayaan Seseorang

    Salah satu keputusan kontroversial yang terjadi pada bulan Februari ini adalah jatuhnya putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) terhadap terpidana kasus korupsi proyek pemetaan dan pemotretan areal hutan antara Departemen Hutan dan PT Mapindo Parama, Mohammad “Bob” Hasan . PN Jakpus menjatuhkan hukuman dua tahun penjara potong masa tahanan dan menetapkan terpidana tetap dalam status tahanan rumah. Putusan ini menimbulkan rasa ketidakadilan masyarakat, karena untuk kasus korupsi yang merugikan negara puluhan milyar rupiah, Bob Hasan yang sudah berstatus terpidana hanya dijatuhi hukuman tahanan rumah. Proses pengadilan pun relatif berjalan dengan cepat. Demikian pula yang terjadi dengan kasus Bank Bali, BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia), kasus Texmaco, dan kasus-kasus korupsi milyaran rupiah lainnya.
  Dibandingkan dengan kasus pencurian kecil, perampokan bersenjata, korupsi yang merugikan negara “hanya” sekian puluh juta rupiah, putusan kasus Bob Hasan sama sekali tidak sebanding. Masyarakat dengan mudah melihat bahwa kekayaanlah yang  menyebabkan Bob Hasan lolos dari hukuman penjara. Kemampuannya menyewa pengacara tangguh dengan tarif mahal yang dapat mementahkan dakwaan kejaksaan, hanya dimiliki oleh orang-orang dengan tingkat kekayaan tinggi.Kita bisa membandingkan dengan kasus Tasiran yang memperjuangkan tanah garapannya sejak tahun 1985 . Tasiran, seorang petani sederhana, yang terlibat konflik tanah seluas 1000 meter persegi warisan ayahnya, dijatuhi hukuman kurungan tiga bulan dengan masa percobaan enam bulan pada tanggal 2 April 1986, karena terbukti mencangkuli tanah sengketa. Karena mengulang perbuatannya pada masa percobaan, Tasiran kembali masuk penjara pada bulan Agustus 1986. Sekeluarnya dari penjara, Tasiran berkelana mencari keadilan dengan mondar-mandir Bojonegoro-Jakarta lebih dari 100 kali dengan mendatangi Mahkamah Agung, Mabes Polri, Kejaksaan Agung, Mabes Polri, DPR/MPR, Bina Graha, Istana Merdeka, dan sebagainya. Pada tahun 1996 ia kembali memperoleh keputusan yang mengalahkan dirinya.

    b.Tingkat Jabatan Seseorang
   Kasus Ancolgate  berkaitan dengan studi banding ke luar negeri (Australia, Jepang, dan Afrika Selatan) yang diikuti oleh sekitar 40 orang anggota DPRD DKI Komisi D. Dalam studi banding tersebut anggota DPRD yang berangkat memanfaatkan dua sumber keuangan yaitu SPJ anggaran yang diperoleh dari anggaran DPRD DKI  sebesar 5.2 milyar rupiah dan uang saku dari PT Pembangunan Jaya Ancol sebesar 2,1 milyar rupiah.         Dalam kasus ini, sembilan orang staf Bapedal dan Sekwilda dikenai tindakan administratif, semenara Kepala Bapedal DKI Bambang Sungkono dan Kepala Dinas Tata Kota DKI Ahmadin Ahmad tidak dikenai tindakan apapun.Dalam kasus ini, terlihat penyelesaian masalah dilakukan segera setelah media cetak dan elektronik menemukan ketidakberesan dalam masalah pendanaan studi banding tersebut. Penyelesaian secara administratif ini seakan
dilakukan agar dapat mencegah tindakan hukum yang mungkin bisa dilakukan. Rasa ketidakadilan masyarakat terusik tatkala sanksi ini hanya dikenakan pada pegawai rendahan. Pihak kejaksaan pun terkesan mengulur-ulur janji untuk mengusut kasus ini sampai ke pejabat tertinggi di DKI, yaitu Gubernur Sutiyoso, yang sebagai komisaris PT Pembangunan Jaya Ancol ikut bertanggungjawab. Sampai makalah ini dibuat, janji untuk menyidik pejabat-pejabat DKI ini belum terlaksana.


    c.Nepotisme

   Terdakwa Letda (Inf) Agus Isrok, anak mantan Kepala Staf Angkatan Darat (KASAD), Jendral (TNI) Subagyo HS, diperingan hukumannya oleh mahkamah militer dari empat tahun penjara menjadi dua tahun penjara . Disamping itu, terdakwa juga dikembalikan ke kesatuannya selama dua minggu sambil menunggu dan berpikir terhadap vonis  mahkamah militer tinggi. Putusan ini terasa tidak adil dibandingkan dengan vonis-vonis kasus narkoba lainnya yang terjadi di Indonesia yang didasarkan atas pelaksanaan UU Psikotropika. Disamping itu, proses pengadilan ini juga memperlihatkan eksklusivitas hukum militer yang diterapkan pada kasus narkoba.Tommy Soeharto, anak mantan presiden Soeharto, yang dihukum 18 bulan penjara karena kasus manipulasi tukar gling tanah Bulog di Kelapa Gading dan merugikan negara sebesar 96 milyar rupiah, sampai saat ini tidak berhasil ditangkap dan dimasukkan ke LP Cipinang sesuai perintah pengadilan setelah permohonan grasinya ditolak oleh presiden. Masyarakat melihat bagaimana pihak pengacara, kejaksaan, dan kepolisian saling berkomentar melalui media cetak dan elektronik, namun sampai saat makalah ini dibuat Tommy Soeharto masih berkeliaran di udara bebas.  Dua kasus ini mengesankan adanya diskriminasi hukum bagi keluarga bekas pejabat.

    d. Tekanan Internasional

    Kasus Atambua, Nusa Tenggara Timur, yang terjadi pada tanggal 6 September 2000, yang menewaskan tiga orang staf UNHCR mendapatkan perhatian internasional dengan cepat. Dimulai dengan keluarnya Resolusi No. 1319 dari Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa Bangsa  (DK PBB), surat dari Direktur Bank Dunia kepada Presiden Abdurrahman Wahid untuk segera menyelesaikan permasalahan tersebut, permintaan DK PBB untuk mengirim misi penyelidik kasus Atambua ke Indonesia, desakan CGI (Consultatif Group on Indonesia), sampai dengan ancaman embargo oleh Amerika Serikat. Tekanan internasional ini mengakibatkan cepatnya pemerintah bertindak, dengan segera melucuti persenjataan milisi Timor Timur dan mengadili beberapa bekas anggota milisi Timor Leste yang dianggap bertanggung jawab. Apabila dibandingkan dengan kasus-kasus kekerasan yang terjadi di bagian lain di Indonesia, misalnya : Ambon, Aceh, Sambas, Sampit, kasus Atambua termasuk kasus yang mengalami penyelesaian secara cepat dan tanggap dari aparat. Dalam enam bulan sejak kasus ini terjadi, kekerasan berhasil diatasi, milisi berhasil dilucuti, dan situasi kembali aman dan normal. Meskipun ada perhatian internasional dalam kasus-kasus kekerasan lain di Indonesia, namun tekanan yang terjadi tidak sebesar pada kasus Atambua. Dalam pandangan masyarakat, derajat tekanan internasional menentukan kecepatan aparat melakukan penegakan hukum dalam mengatasi kasus kekerasan.

3) Beberapa Akibat Inkonsistensi Penegakan Hukum di Indonesia

   Inkonsistensi penegakan hukum di atas berlangsung terus menerus selama puluhan tahun. Masyarakat sudah terbiasa melihat bagaimana law in action berbeda dengan law in the book. Masyarakat bersikap apatis bila mereka tidak tersangkut paut dengan satu masalah yang terjadi. Apabila melihat penodongan di jalan umum, jarang terjadi masyarakat membantu korban atau melaporkan pelaku kepada aparat. Namun bila mereka sendiri tersangkut dalam suatu masalah, tidak jarang mereka memanfaatkan inkonsistensi penegakan hukum ini. Beberapa contoh kasus berikut ini menunjukkan bagaimana perilaku masyarakat menyesuaikan diri dengan pola inkonsistensi penegakan hukum di Indonesia.


    a. Ketidakpercayaan Masyarakat pada Hukum

    Masyarakat meyakini bahwa hukum lebih banyak merugikan mereka,dan sedapat mungkin dihindari. Bila seseorang melanggar peraturan lalu lintas misalnya, maka sudah jamak dilakukan upaya “damai” dengan petugas polisi yang bersangkutan agar tidak membawa kasusnya ke pengadilan . Memang dalam hukum perdata, dikenal pilihan penyelesaian masalah dengan arbitrase atau mediasi di luar jalur pengadilan untuk menghemat waktu dan biaya. Namun tidak demikian hal nya dengan hukum pidana yang hanya menyelesaikan masalah melalui pengadilan. Di Indonesia, bahkan persoalan pidana pun masyarakat mempunyai pilihan diluar pengadilan. Pendapat umum menempatkan hakim pada posisi “tertuduh” dalam lemahnya penegakan hukum di Indonesia, namun demikian peranan pengacara, jaksa penuntut dan polisi sebagai penyidik dalam hal ini juga penting. Suatu dakwaan yang sangat lemah dan tidak cermat, didukung dengan argumentasi asal-asalan, yang berasal dari hasil penyelidikan yang tidak akurat dari pihak kepolisian, tentu saja akan mempersulit hakim dalam memutuskan suatu perkara. Kelemahan penyidikan dan penyusunan dakwaan ini kadang bukan disebabkan rendahnya kemampuan aparat maupun ketiadaan sarana pendukung, tapi lebih banyak disebabkan oleh lemahnya mental aparat itu sendiri. Beberapa kasus menunjukkan \aparat memang tidak berniat untuk melanjutkan perkara yang bersangkutan ke pengadilan atas persetujuan dengan pihak pengacara dan terdakwa, oleh karena itu dakwaan disusun secara sembarangan dan sengaja untuk mudah dipatahkan.

    Beberapa kasus pengadilan yang memutus bebas terdakwa kasus korupsi yang menyangkut pengusaha besar dan kroni mantan presiden Soeharto menunjukkan hal ini. Terdakwa terbukti bebas karena dakwaan yang lemah.

   
b. Penyelesaian Konflik dengan Kekerasan

    Penyelesaian konflik dengan kekerasan terjadi secara sporadis di beberapa tempat di Indonesia. Suatu persoalan pelanggaran hukum kecil kadang membawa akibat hukuman yang sangat berat bagi pelakunya yang diterima tanpa melalui proses pengadilan. Pembakaran dan penganiayaan pencuri sepeda motor, perampok, penodong yang dilakukan massa beberapa waktu yang lalu merupakan contoh. Menurut Durkheim  masyarakat ini menerapkan hukum yang bersifat menekan (repressive). Masyarakat menerapkan sanksi tersebut tidak atas pertimbangan rasional mengenai jumlah kerugian obyektif yang menimpa masyarakat itu, melainkan atas dasar kemarahan kolektif yang muncul karena tindakan yang menyimpang dari pelaku. Masyarakat ingin memberi pelajaran kepada pelaku dan juga pada memberi peringatan anggota masyarakat yang lain agar tidak melakukan tindakan pelanggaran yang sama.Pada beberapa kasus yang lain, masyarakat menggunakan kelompoknya untuk menyelesaikan konflik yang terjadi. Mulai dari skala “kecil” seperti kasus Matraman yang melibatkan warga Palmeriam dan Berland, kasus tawuran pelajar, sampai dengan kasus-kasus besar seperti Ambon, Sambas, Sampit, dan sebagainya. Pada kasus Sampit, misalnya, konflik antara etnis Dayak dan Madura yang terjadi karena ketidakadilan ekonomi tidak dibawa dalam jalur hukum, melainkan diselesaikan melalui tindakan kelompok. Dalam hal ini, kebenaran menurut hukum tidak dianut sama sekali, masing-masing kelompok menggunakan norma dan hukumnya dalam menentukan kebenaran serta sanksi bagi pelaku yang melanggar hukum menurut versinya tersebut. Tidak diperlukan adanya argumentasi dan pembelaan bagi si terdakwa.Suatu kesalahan yang berdasarkan keputusan kelompok tertentu, segera divonis menurut aturan kelompok tersebut.

    c. Pemanfaatan Inkonsistensi Penegakan Hukum untuk Kepentingan Pribadi

  Dalam beberapa kasus yang berhasil ditemukan oleh media cetak, terbukti adanya kasus korupsi dan kolusi yang melibatkan baik polisi, kejaksaan, maupun hakim dalam suatu perkara. Kasus ini biasanya melibatkan pengacara yang menjadi perantara antara terdakwa dan aparat penegak hukum. Fungsi pengacara yang seharusnya berada di kutub memperjuangkan keadilan bagi terdakwa , berubah menjadi pencari kebebasan dan keputusan seringan mungkin dengan segala cara bagi kliennya. Sementara posisi polisi dan jaksa yang seharusnya berada di kutub yang menjaga adanya kepastian hukum, terbeli oleh kekayaan terdakwa. Demikian pula hakim yang seharusnya berada ditengah-tengah dua kutub tersebut, kutub keadilan dan kepastian hukum, bisa jadi condong membebaskan atau memberikan putusan seringan-ringannya bagi terdakwa setelah melalui kesepakatan tertentu.
Dengan skenario diatas, lengkaplah sandiwara pengadilan yang seharusnya mencari kebenaran dan penyelesaian masalah menjadi suatu pertunjukan yang telah diatur untuk membebaskan terdakwa. Dan karena menyangkut uang, hanya orang kaya lah yang dapat menikmati keadaan inkonsistensi penegakan hukum ini. Sementara orang miskin (atau yang relatif lebih miskin) akan putusan pengadilan yang lebih tinggi
 
  d. Penggunaan Tekanan Asing dalam Proses Peradilan

   Campur tangan asing bagaikan pisau bermata dua. Disatu pihak tekanan asing dapat membawa berkah bagi pencari keadilan dengan dipercepatnya penyidikan dan penegakan hukum oleh aparat. Lembaga asing non pemerintah biasanya aktif melakukan tekanan-tekanan semaam ini, misalnya dalam pengusutan kasus pembunuhan di Aceh, tragedi Ambon, Sambas, dan sebagainya.Namun di lain pihak tekanan asing kadang juga memberi mimpi buruk pula bagi masyarakat. Beberapa perusahaan asing yang terkena kasus pencemaran lingkungan, gugatan tanah oleh masyarakat adat setempat, serta sengketa perburuhan, kadang menggunakan negara induknya untuk melakukan pendekatan dan tekanan terhadap pemerintah Indonesia agar tercapai kesepakatan yang menguntungkan kepentingan mereka, tanpa membiarkan hukum untuk menyelesaikannnya secara mandiri. Tekanan tersebut dapat berupa ancaman embargo, penggagalan penanaman modal, penghentian dukungan politik, dan sebagainya. Kesemuanya untuk meningkatkan posisi tawar mereka dalam proses hukum yang sedang atau akan dijalaninya.


4) Prioritas Penegakan Hukum

   Inkonsistensi penegakan hukum merupakan masalah penting yang harus segera ditangani. Masalah hukum ini paling dirasakan oleh masyarakat dan membawa dampak yang sangat buruk bagi kehidupan bermasyarakat. Persepsi masyarakat yang buruk mengenai penegakan hukum, menggiring masyarakat pada pola kehidupan sosial yang tidak mempercayai hukum sebagai sarana penyelesaian konflik, dan cenderung menyelesaikan konflik dan permasalahan mereka di luar jalur. Cara ini membawa akibat buruk bagi masyarakat itu sendiri.Pemanfaatan inkonsistensi penegakan hukum oleh sekelompok orang demi kepentingannya sendiri, selalu berakibat merugikan pihak yang tidak mempunyai kemampuan yang setara. Akibatnya rasa ketidakadilan dan ketidakpuasan tumbuh subur di masyarakat Indonesia.Penegakan hukum yang konsisten harus terus diupayakan untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap hukum di Indonesia. Melihat penyebab inkonsistensi penegakan hukum di Indonesia, maka prioritas perbaikan harus dilakukan pada aparat, baik polisi, jaksa, hakim, maupun pemerintah (eksekutif) yang ada dalam wilayah peradilan yang bersangkutan. Tanpa perbaikan kinerja dan moral aparat, maka segala bentuk kolusi, korupsi, dan nepotisme akan terus berpengaruh dalam proses penegakan hukum di Indonesia.Selain perbaikan kinerja aparat, materi hukum sendiri juga harus terus menerus diperbaiki. Kasus tidak adanya perundangan yang dapat menjerat para terdakwa kasus korupsi, diharapkan tidak akan muncul lagi dengan adanya undang-undang yang lebih tegas. Selain mengharapkan peran DPR sebagai lembaga legistatif untuk lebih aktif dalam memperbaiki dan menciptakan perundang-undang yang lebih sesuai dengan perkembangan jaman, diharapkan pula peran dan kontrol publik baik melalui perorangan, media massa, maupun lembaga swadaya masyarakat. Peningkatan kesadaran hukum masyarakat juga menjadi faktor kunci dalam penegakan hukum secara konsisten.
[Continue reading...]

Sistem Hukum dan Sejarah Hukum

- 0 komentar
1. SISTEM HUKUM
Ada berbagai jenis sistem hukum yang berbeda yang dianut oleh negara-negara di dunia pada saat ini, antara lain sistem hukum Eropa Kontinental, sistem hukum Anglo-Saxon, sistem hukum adat, sistem hukum agama.

A. Sistem hukum Eropa Kontinental
Sistem hukum Eropa Kontinental adalah suatu sistem hukum dengan ciri-ciri adanya berbagai ketentuan-ketentuan hukum dikodifikasi (dihimpun) secara sistematis yang akan ditafsirkan lebih lanjut oleh hakim dalam penerapannya. Hampir 60% dari populasi dunia tinggal di negara yang menganut sistem hukum ini.

B. Sistem hukum Anglo-Saxon
Sistem Anglo-Saxon adalah suatu sistem hukum yang didasarkan pada yurisprudensi, yaitu keputusan-keputusan hakim terdahulu yang kemudian menjadi dasar putusan hakim-hakim selanjutnya. Sistem hukum ini diterapkan di Irlandia, Inggris, Australia, Selandia Baru, Afrika Selatan, Kanada (kecuali Provinsi Quebec) dan Amerika Serikat (walaupun negara bagian Louisiana mempergunakan sistem hukum ini bersamaan dengan sistim hukum Eropa Kontinental Napoleon). Selain negara-negara tersebut, beberapa negara lain juga menerapkan sistem hukum Anglo-Saxon campuran, misalnya Pakistan, India dan Nigeria yang menerapkan sebagian besar sistem hukum Anglo-Saxon, namun juga memberlakukan hukum adat dan hukum agama.
Sistem hukum anglo saxon, sebenarnya penerapannya lebih mudah terutama pada masyarakat pada negara-negara berkembang karena sesuai dengan perkembangan zaman.Pendapat para ahli dan prakitisi hukum lebih menonjol digunakan oleh hakim, dalam memutus perkara.

C. Sistem hukum adat/kebiasaan
Hukum Adat adalah adalah seperangkat norma dan aturan adat/kebiasaan yang berlaku di suatu wilayah.

D. Sistem hukum agama
Sistem hukum agama adalah sistem hukum yang berdasarkan ketentuan agama tertentu. Sistem hukum agama biasanya terdapat dalam Kitab Suci.

2. Sejarah hukum
Sejarah Hukum adalah bidang studi tentang bagaimana hukum berkembang dan apa yang menyebabkan perubahannya. Sejarah hukum erat terkait dengan perkembangan peradaban dan ditempatkan dalam konteks yang lebih luas dari sejarah sosial. Di antara sejumlah ahli hukum dan pakar sejarah tentang proses hukum, sejarah hukum dipandang sebagai catatan mengenai evolusi hukum dan penjelasan teknis tentang bagaimana hukum-hukum ini berkembang dengan pandangan tentang pemahaman yang lebih baik mengenai asal-usul dari berbagai konsep hukum. Sebagian orang menganggapnya sebagai bagian dari sejarah intelektual. Para sejarawan abad ke-20 telah memandang sejarah hukum dalam cara yang lebih kontekstual, lebih sejalan dengan pemikiran para sejarawan sosial. Mereka meninjau lembaga-lembaga hukum sebagai sistem aturan, pelaku dan lambang yang kompleks, dan melihat unsur-unsur ini berinteraksi dengan masyarakat untuk mengubah, mengadaptasi, menolak atau memperkenalkan aspek-aspek tertentu dari masyarakat sipil. Para sejarawan hukum seperti itu cenderung menganalisis sejarah kasus dari parameter penelitian ilmu sosial, dengan menggunakan metode-metode statistik, menganalisis perbedaan kelas antara pihak-pihak yang mengadukan kasusnya, mereka yang mengajukan permohonan, dan para pelaku lainnya dalam berbagai proses hukum. Dengan menganalisis hasil-hasil kasus, biaya transaksi, jumlah kasus-kasus yang diselesaikan, mereka telah memulai analisis terhadap lembaga-lembaga hukum, praktik-praktik, prosedur dan amaran-amarannya yang memberikan kita gambaran yang lebih kompleks tentang hukum dan masyarakat daripada yang dapat dicapai oleh studi tentang yurisprudensi, hukum
[Continue reading...]

PENEGAKAN HUKUM

- 0 komentar
     Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam lalulintas atau hubungan–hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Ditinjau darui sudut subyeknya, penegakan hukum itu dapat dilakukan oleh subyek yang luas dan dapat pula diartikan sebagai upaya penegakan hukum itu melibatkan semua subyek hukum dalam setiap hubungan hukum. Siapa saja yang menjalankan aturan normatif atau melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dengan mendasarkan diri pada norma aturan hukum yang berlaku, berarti dia menjalankan atau menegakkan aturan hukum. Dalam arti sempit, dari segi subyeknya itu, penegakan hukum itu hanya diartikan sebagai upaya aparatur penegakan hukum tertentu untuk menjamin dan memastikan tegaknya hukum itu, apabila diperlukan, aparatur penegak hukum itu diperkenankan untuk menggunakan daya paksa.
    Pengertian penegakan hukum itu dapat pula ditinjau dari sudut obyeknya, yaitu dari segi hukumnya. Dalam hal ini, pengertiannya juga mencakup makna yang luas dan sempit. Dalam arti luas, penegakan hukum itu mencakup pada nilai-nilai keadilan yang terkandung didalamnya bunyi aturan formal maupun nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat. Tatapi dalam arti sempit, penegakan hukum itu hanya menyangkut penegakan peraturan yang formal dan tertulis saja. Karena itu, penerjemahan perkataan “Law enforcement” ke dalam bahasa indonesia dalam menggunakan perkataan “Penegakan Hukum” dalam arti luas dapat pula digunakan istilah “Penegakan Peraturan” dalam arti sempit. Pembedaan antara formalita aturan hukum yang tertulis dengan cakupan nilai keadilan yang dikandungnya ini bahkan juga timbul dalam bahasa inggris sendiri dengan dikembangkannya istilah “the rule of law” atau dalam istilah “ the rule of law and not of a man” versus istilah “ the rule by law” yang berarti “the rule of man by law” Dalam istilah “ the rule of law” terkandung makna pemerintahan oleh hukum, tetapi bukan dalam artinya yang formal, melainkan mencakup pula nilai-nilai keadilan yang terkandung di dalamnya. Karena itu, digunakan istilah “ the rule of just law”. Dalam istilah “the rule of law and not of man”, dimaksudkan untuk menegaskan bahwa pada hakikatnya pemerintahan suatu negara hukum modern itu dilakukan oleh hukum, bukan oleh orang. Istilah sebaliknya adalah “the rule by law” yang dimaksudkan sebagai pemerintahan oleh orang yang menggunakan hukum sekedar sebagai alat kekuasaan belaka.
   Dengan uraian diatas jelaslah kiranya bahwa yang dimaksud dengan penegakan hukum itu kurang lebih merupakan upaya yang dilakukan untuk menjadikan hukum, baik dalam artian formil yang sempit maupun dalam arti materil yang luas, sebagai pedoman perilaku dalam setiap perbuatan hukum, baik oleh para subyek hukum yang bersangkutan maupun oleh aparatur penegakan hukum yang resmi diberi tugas dan kewenangan oleh Undang-undang untuk menjamin berfungsinya norma-norma hukum yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Dari pengertian yang luas itu, pembahasan kita tentang penegakan hukum dapat kita tentukan sendiri batas-batasnya Apakah kita akan membahas keseluruhan aspek dan dimensi penegakan hukum itu, baik dari segi subyeknya maupun obyeknya atau kita batasi haya membahas hal-hal tertentu saja, misalnya hanya menelaah aspek-aspek subyektif saja. Makalah ini memang sengaja dibuat untuk memberikan gambaran saja mengenai keseluruhan aspek yang terkait dengan tema penegakan hukum itu.

A. PENEGAKAN HUKUM OBYEKTIF 

    Seperti disebut di muka, secara obyektif, norma hukum yang hendak ditegakkan mencakup Pengertian hukum formal dan hukum materiil. Hukum formal hanya bersangkutan dengan peraturan perundang-undangan yang tertulis, sedangkan hukum materiil mencakup pula pengertian nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat. Dalam bahasa yang tersendiri, kadang-kadang orang membedakan antara pengertian penegakan hukum dengan penegakan keadilan. Penegakan hukum dapat dikaitkan dengan pengertian pengertian “law enfocement” dalam arti sempit, sedangkan penegakan hukum dalam arti hukum materil, diistilahkan dengan penegakan keadilan. Dalam bahasa Inggris juga terkadang dibedakan antara konsepsi “court of law” dalam arti pengadilan hukum dan “court of justice” atau pengadilan keadilan. Bahkan dengan semangat yang sama pula, Mahkamah Agung di Amerika serikat disebut dengan istilah “Supreme Court of Justice”.
    Istilah-istilah itu dimaksudkan untuk menegaskan bahwa hukum yang harus ditegakkan itu pada intinya bukanlah norma aturan sendiri, melainkan nilai-nilai keadilan yang terkandung didalamnya. Memang ada doktrin yang membedakan antara tugas hakim dalam proses pembuktian dalam perkara pidana dan perdata. Dalam perkara perdata dikatakan bahwa hakim cukup menemukan bukti formil belaka, sedangkan dalam perkara pidana barulah hakim diwajibkan mencari dan menemukan kebenaran materil yang menyangkut nilai-nilai keadilan yang harus diwujudkan dalam peradilan pidana. Namun demikian, hakikat tugas hakim itu sendiri memang seharusnya mencari dan menemukan kebenaran materil untuk mewujudkan keadilan materiil. Kewajiban demikian berlaku, baik dalam bidang pidana maupun perdata. Pengertian kita tentang penegakan hukum sudah seharusnya berisikan penegakan keadilan itu sendiri, sehingga penegakan hukum dan penegakan keadilan merupakan dua sisi dari mata uang yang sama.
   Setiap norma hukum sudah dengan sendirinya mengandung ketentuan tentang hak-hak dan kewajiban-kewajiban para subyek hukum dalam lalu lintas hukum. Norma-norma hukum yang bersifat dasar, tentulah berisi rumusan hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang juga dasar dan mendasar. Karena itu, secara akademis, sebenarnya persoalan hak dan kewajiban asasi manusia memang menyangkut konsepsi yang niscaya ada dalam keseimbangan konsep hukum dan keadilan. Dalam setiap hubungan hukum terkandung di dalamnya dimensi hak dan kewajiban secara pararel dan bersilang. Karena itu secara akademis, Hak Asasi manusia mestinya diimbangi dengan kewajiban asasi manusia. Akan tetapi, dalam perkembangan sejarah, issue hak asasi manusia itu sendiri terkait erat dengan persoalan ketidakadilan yang timbul dalam kaitannya dengan persoalan kekuasaan. Dalam sejarah, kekuasaan yang diorganisasikan ke dalam dan melalui organ-organ negara, seringkali terbukti melahirkan penindasan dan ketidakadilan. Karena itu, sejarah umat manusia mewariskan gagasan perlindungan da penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia. Gagasan perlindungan dan penghormatan hak asasi manusia ini bahkan diadopsi ke dalam pemikiran mengenai pembatasan kekuasaan yang kemudian dikenal dengan aliran konstitusionalisme. Aliran konstiotusionalisme inilah yang memberi warna modern terhadap ide-ide demokrasi dan nomokrasi (negara hukum) dalam sejarah, sehingga perlindungan konstitusional terhadap hak asasi manusia dianggap sebagai ciri utama yang perlu ada dalam setiap negara hukum yang demokratis (democratische rechsstaat) ataupun negara demokrasi yang berdasar pada hukum (Constitutional democracy).
   Dengan perkataan lain, issue hak asasi manusia itu sebenarnya terkait erat dengan persoalan penegakan hukum dan keadilan itu sendiri. Karena itu, sebenarnya, tidaklah terlalu tepat untuk mengembangkan istilah penegakan hak asasi manusia secara tersendiri. Lagi pula, pakaha hak asasi manusia dapat ditegakkan?. Bukankah yang ditegakkan itu adalah aturan hukum dan konstitusi yang menjamin hak asasi manusia itu, dan bukannya hak asasi manusia itu sendiri?. Namun, dalam praktek sehari-hari, kita memang sudah salah kaprah. Kita sudah terbiasa menggunakan istilah penegakan “hak asasi manusia “. Masalahnya, kesadaran umum mengenai hak asasi manusia dan kesadaran untuk mengghormati hak-hak asasi orang lain di kalangan kita pun memang belum berkembang secara sehat.


B. APARATUR PENEGAK HUKUM 

   Aparatur penegak hukum menncakup pengertian mengenai institusi penegak hukum dan aparat (orangnya) penegak hukum. Dalam arti sempit, aparatur penegak hukum yang terlibat tegaknya hukum itu, dimulai dari saksi, polisi, penasehat hukum, jaksa hakim dan petugas-petugas sipir pemasyarakatan. Setiap aparat dan aparatur terkait mencakup pula pihak-pihak yang bersangkutan dengan tugas atau perannya yaitu terkait dengan kegiatan pelaporan atau pengaduan, penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pembuktian, penjatuhan vonis dan pemberian sanksi, serta upaya pemasyarakatan kembali (resosialisasi) terpidana.
  • Dalam proses bekerjanya aparatur penegak hukum itu, terdapat 3 elemen penting yang mempengaruhi, yaitu institusi penegak hukum beserta berbagai perangkat sarana dan prasarana pendukung dan mekanisme kerja kelembagaannya
  • Budaya kerja ytang terkait dengan aparatnya, termasuk mengenai kesejahteraan aparatnya
  • Perangkat peraturan yang mendukung baik kinerja kelembagaannya maupun yang mengatur materi hukum yang dijadikan standar kerja, baik hukum materilnya maupun hukum acaranya. Upaya penegakan hukum secara sistematik haruslah memperhatikan ketiga aspek itu secara simultan, sehingga proses penegakan hukum dan keadilan itu sendiri secara internal dapat diwujudkan secara nyata.
 Namun, selain ketiga faktor diatas, keluhan berkenaan dengan kinerja penegakan hukum di negra kita selama ini, sebenarnya juga memerlukan analisis yang lebih menyeluruh lagi. Upaya penegakan hukum hanya satu elemen saja dari keseluruhan persoalan kita sebagai negara hukum yang mencita-citakan upata menegakan dan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyatr indonesia. Hukum tidak mungkin akan tegak, jika hukum itu sendiri atau belummencerminkan perasaan atau nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakatnya. Hukum tidak mungkin menjamin keadilan jika materinya sebagian besar merupakan warisan masa lalu yang tidak sesuai lai dengan tuntutan zaman. Artinya, persoalan yang kita hadapi bukan saja berkenaan dengan upaya penegakan hukum tetapi juga pembaharuan hukum atau pembuatan hukum baru. Karena itu, ada empat fungsi penting yang memerlukan perhatian yang seksama,
1)pembuatan hukum (‘the legislation of law atau Law and rule making
2)sosialisasi, penyebarluasan dan bahkan pembudayaan hukum ( socialization and promulgation of law)
3)penegakan hukum (the enforcement of law). Ketiganya membutuhkan dukungan
4)administrasi hukum (the administration of law) yang efektif dan efisien yang dijalankan oleh pemerintahan (eksekutif) yang bertanggungjawab (accountable
. Karena itu, pengembangan administrasi hukum dan sistem hukum dapat disebut sebagai agenda penting yang keempat sebagai tambahan terhadap ketiga agenda tersebut diatas. Dalam arti luas, The administration of law itu mencakup pengertian pelaksanaan hukum (rules executing) dan tata administrasi hukum itu sendiri dalam pengertian yang sempit. Misalnya dapat dipersoalkan sejauhmana sistem dokumentasi dan publikasi berbagai produk hukum yang ada selama ini telah sikembangkan dalam rangka pendokumentasian peraturan-peraturan (regels), keputusan-keputusan administrasi negara(beschikings), ataupun penetapan dan putusan (vonius) hakim di seluruh jajaran dan lapisan pemerintahan dari pusat sampai ke daerah-daerah. Jika sistem administrasinya tidak jelas, bagaimana mungkin akses masyarakat luas terhadap aneka bentuk produk hukum tersebut dapat terbuka?. Jika akses tidak ada, bagaimana mungkin mengharapkan masyarakat dapat taat pada aturan yang tidak diketahuinya?. Meskipun ada teori “fiktie” yang diakui sebagai doktrin hukum yang bersifat universal, hukum juga perlu difungsikan sebagai sarana pendidikan dan pembaruan masyarakat (social reform), dan karena itu ketidak tahuan masyarakat akan hukum tidak boleh dibiarkan tanpa usaha sosial dan pembudayaan hukum secara sistematis dan bersengaja.
[Continue reading...]

Sunday, August 7, 2011

Beberapa Contoh Pola Pengembangan Paragraf

- 0 komentar

1 Pola Umum ke khusus


Olahraga pagi murah, meriah, dan menyenangkan. Dengan lari pagi kita dapat berolahraga tanpa mengenal biaya. Olah raga pagi dapat dilakukan dengan praktis dan
Sederhana, karena tidak memerlukan peralatan dan tempat Yang khusus. Selain itu, olah raga s ecara bersama – sama oleh siapa saja tanpa mengenal umur, kenis kelamin dan status Semua orang dapat melaku kannya dengan senang dan menggembirakan

2. Pola khusus ke umum 

Kotoran kerbau dapat digunakan sebagai pupuk kandang yang dapat menyuburkan idak tanah Selainj itu penggunaan kerbau dalam menggarap sawah tidak perlu menggunakan bahan bakar sehingga tidak menimbulkan polusi udara. . Dari uraian tadi dapat disimpulkan bahwa dalam menggarap sawah banyak menguntungkan


3. Pola sebab akibat 

Awal tahun 2008 ini sebagian wilayah di Indonesia mengalami cuaca buruk. Akibatnya jadwal penerbangan terganggu. Selain itu, gelombang pasang di laut 3333333 cukup besar sehingga kapal laut pun tertunda keberangkatannya. Akibatnya pasokan BBM terganggu. Oleh meewahkarena terlambatnya kapal pengangkut BBM tiba di pelabuhan mengakibatkan antrian panjang di setiap SPBU. Oleh karena susahnya orang mendapatkan bensin sehinga ongkos transportasi ikut . Kesemua itu terjadi karena cuaca yang tidak menentu

4. Pola perbandingan

Mantan Perdana menteri Inggris Margaret Teeacher adalah seorang tokoh wanita yang cukup disegani di dunia. Beliau penampilannya sangat sederhana tdak suka dijemput secara besar – besaran ketika berkunjung ke suatu tempat. Pakaian yang dikenakan sangat sederhana, NAmun, ia tak lupa cirri khasnya yaitu memakai topi kebesarannya. Berbeda halnya dengan Ratu Elizabet II . Beliau ini senang. Kepada hal yang mewah – mewah. Ia sangat menyukai kalau dikawal pasukan berkuda dan disambut dengan upacara kemiliteran.


5. Pola Peretentangan

Keluarga pak Dermawan tergolong keluarga yang ekonominya terbilang hanya pas- pasan bahkan sering tidak cukup. Pak Dermawan kalau pergi bekerja lebih banyak berjalan kaki hanya sering – sering naik sepeda tua. Begitu anak - anakya kalau pergi ke sekolah semua berjalan kaki dengan jarak lebih kurang 2 km dari rumahya. Akan tetapi, hal itu dijalaninya dengan penuh ketabahan dan kegembiraan. Walaupun kehidupan ekonomi Pak dermawan terbilang sangat kurang, namun ia orangnya dermawan. Ia lebih banyak memberikan sum bangan kepada pembangunan untuk kepentingan masyarakat umum seperti masjid , jalanan, gedung sekolah dan anak yatim disbanding dengan orang - orang kaya di sekitarnya sehingga semua masyarakat di desanya sangat senang dan hormat kepadanya.
[Continue reading...]

Perkembangan Politik Pemerintah Setelah Tanggal 21 Mei 1998

- 0 komentar
Pada tanggal 22 Mei 1988 Presiden BJ Habibie membentuk Kabinet baru yang dinamakan Kabinet Reformasi Pembangunan, dalam bidang ekonomi pemerintahan Habibie melakukan hal-hal sebagai berikut:
  1. merekapitulasi perbankan
  2. merekontruksi perekonomian Indonesia
  3. melikuidasi beberapa Bank bermasalah
  4. menaikkan nilai tukar rupiah hingga dibawah 10.000 terhadap dollar AS
  5. mengimplementasikan reformasi ekonomi yang diisyaratkan oleh IMF
Sedangkan dalam bidang politik sejak jaman pemerintahan Habibie orang bebas mengemukakan pendapatnya di muka umum, untuk menjamin kepastian hukum bagi para pengunjuk rasa, pemerintah bersama DPR berhasil merampungkan perundang-undangan yang mengatur tentang unjuk rasa dan demontrasi. Yaitu UU No. 9 tahun 1988 tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat.

Berkaitan dengan masalah ABRI, terjadi reformasi peran ABRI di DPR , juga dulunya 4 angkatan menjadi 3 angkatan sejak 5 Mei 1999, reformasi dibidang hukum

Sidang Istimewa MPR, dalam sejarah pemerintahan di Indonesia telah 2 kali terjadi Sidang Istimewa MPR, tahun 1967 dan tahun1988.

Pemilu tahun 1999, diadakan tanggal 7 Juni 1999, diikuti oleh 48 partai politik kemudian dilanjutkan dengan Sidang Umum MPR hasil pemilu 1999 pada tanggal 1-21 Oktober 1999. beberapa hasil Sidang Umum tersebut adalah, mengangkat Amin Rais sebagai ketua MPR, Akbar Tanjung sebagai ketua DPR, kemudian tanggal 20 Oktober 1999 Gus Dur diangkat menjadi Presiden dan pada tanggal 21 Oktober 1999 Megawati diangkat sebagai wakil Presiden, kemudian mereka membentuk Kabinet Persatuan Nasional. Kekuasaan Gus Dur berakhir pada tahun 2001, kemudian MPR memilih Megawati sebagai Presiden dan Hamzah Haz sebagai wakil Presiden sampai tahun 2004.

Tahun 2004 merupakan moment penting dalam sejarah pemerintahan Indonesia karena untuk pertama kalinya Presiden dan wakil Presiden dipilih langsung oleh rakyat Indonesia. Pada pemilu tahun 2004 telah terpilih bapak SBY dan JK sebagai Presiden dan wakil Presiden.


[Continue reading...]
 
Copyright © . READ THIS ! ! ! - Posts · Comments
Theme Template by BTDesigner · Powered by Blogger